Adakah yang
tidak artifisial pada acara hiburan televisi? Rasanya tidak ada sebab penonton
acara musik, peserta kuis, dan pemain reality show sebagian besar adalah orang
bayaran.
Kamis (22/10) pukul 08.00 di pelataran Gedung
TransTV. Sekitar 150 anak muda dengan pakaian meniru gaya artis berkerumun di
depan panggung musik Derings (TransTV). Posisi mereka ditata sedemikian rupa
agar indah jika dibidik kamera dari berbagai sudut
Setiap musik mengentak, mereka sontak berjingkrak.
Tanpa komando, mereka langsung lincah. Kehadiran mereka membuat siaran langsung
program Derings pagi itu menjadi hidup.
Siapa sebenarnya mereka?
Mereka adalah penonton bayaran yang biasa
”berkeliaran” di sejumlah studio televisi swasta. Indra, misalnya, Kamis pagi,
”tampil” di acara Derings. Sore hari dia ada di TPI ikut dalam pengambilan
gambar kontes bintang Starbuzz. Di acara itu dia tidak tampil sebagai penonton
yang lincah bergoyang, melainkan juri yang ceriwis.
Begitu pula Cicin (20). Rabu pagi, dia ada di acara
Derings, siang di Missing Lyrics (TransTV), dan sore di acara Mantap (ANTV).
Malam hari jika diminta, dia bisa nongkrong di studio televisi mana pun.
”Sehari saya bisa ngumpulkan uang Rp 100.000 dari tiga
acara. Sebulan penghasilan bersih saya Rp 2,5 juta,” kata Cicin yang tinggal di
Pekayon, Bekasi.
Orang-orang seperti Cicin dan Indra jumlahnya
ribuan. Mereka dikoordinasi para penyalur penonton bayaran, di antaranya Elly
Suhari (38) yang akrab disapa Mpok Elly.
Ia mengaku setiap hari menggerakkan 500 penonton
bayaran ke 6-8 acara televisi. ”Saya tinggal telepon koordinator lapangan,
mereka membagi-bagi ’pasukan’ ke studio yang membutuhkan,” kata Mpok Elly yang
wajahnya sering muncul di televisi sebagai penonton, peserta kuis, dan
pendukung acara komedi.
Elly memiliki 10 koordinator lapangan di
Jabodetabek. Merekalah yang bertugas menjaring orang-orang yang ingin menjadi
penonton bayaran. ”Dulu susah mencari penonton, sekarang mereka antre
mendaftar. Sebagian ingin masuk TV dan mencari jalan jadi artis. Sebagian lagi
cari makan,” kata Elly yang terjun sebagai penyalur penonton sejak 2007.
Siapa pun yang mendaftar tidak dia tolak. ”Yang
penting, orangnya mau diatur, lincah, dan ramai,” katanya.
Harsono Wahyudi, penyalur penonton lainnya, juga
tidak memilih-milih orang yang ingin menjadi penonton bayaran.
”Saya hanya menegaskan kepada mereka bahwa nonton
itu kerja, tepuk tangan kerja, dan tidak bergoyang di acara musik itu ’dosa’,”
ujar Harsono. Ia terjun ke bisnis ini sejak 2005. Dalam sehari dia menggerakkan
300 orang ke sejumlah acara, antara lain Dahsyat (RCTI) dan Opera Van Java
(Trans7).
Calon penonton yang telah direkrut, kata Elly,
biasanya diklasifikasikan berdasarkan usia, profesi, dan tampang. Hal ini dia
lakukan sebab tiap acara membutuhkan karakter penonton yang berbeda.
Elly bercerita, suatu ketika dia diminta
mendatangkan penonton berwajah petani untuk acara penyuluhan pertanian. ”Saya
pikir, kok permintaannya aneh. Untung ada anak buah saya yang wajahnya seperti
petani, ha-ha-ha....”
Harsono juga pernah mendapat permintaan aneh. ”Ada
stasiun televisi yang minta dicarikan penonton bertubuh cebol. Pernah juga
diminta mencari orang yang wajahnya gampang dirias seperti kuntilanak.
Apa pun permintaan stasiun televisi, agen penonton
bayaran selalu berusaha memenuhi. Maklum, putaran uang dari bisnis ini cukup
menggiurkan. Elly mengatakan, sebulan dia bisa mengantongi keuntungan Rp 35
juta, sementara Harsono rata- rata Rp 10 juta.
Bagian pertunjukan
Mengapa televisi perlu penonton bayaran? Kepala
Divisi PR Marketing TransTV Hadiansyah menjelaskan, penonton sesungguhnya
bagian dari pertunjukan. ”Jadi, mereka harus ada. Tanpa penonton, sebuah acara
musik, misalnya, tidak akan meriah,” ujarnya, Rabu.
Stasiun televisi, lanjutnya, tak bisa mengandalkan
penonton sukarela sebab mereka sulit diatur. ”Kalau penonton profesional,
mereka sudah tahu benar tugasnya.”
GM Programming TPI Endah Hari Utari mengatakan hal
senada. ”Kalau tidak ada penonton, pengisi acara juga tidak akan tampil
maksimal. Acara jadi tidak hidup,” katanya, Kamis.
Persoalannya, mencari penonton yang sukarela datang
ke studio sekarang tergolong sulit, apalagi banyak acara yang proses
pembuatannya pagi atau tengah malam. Itulah mengapa semua stasiun TV
mendatangkan penonton bayaran.
TransTV, kata Hadiansyah, menggunakan jasa penonton
yang disalurkan delapan agen. ”Itu kami lakukan agar penontonnya tidak itu-itu
saja.”
Begitulah, dunia hiburan TV memang serba artifisial
atau buatan. Fenomena penonton bayaran hanyalah salah satunya. Kalau mau jujur,
tepuk tangan di acara talk show, kemeriahan di acara variety show, tangis dan
tawa di acara kuis, bahkan drama di acara reality show yang mengangkat urusan
pribadi, sebagian besar juga hasil rekayasa.
Ironisnya, sebagian besar pemirsa percaya bahwa apa
yang ditampilkan televisi adalah realitas sungguhan, apalagi jika nama acaranya
diimbuhi ”merek” reality show.